Ada
sebuah cerita, cerita itu di ambil dari kaki gunung Gamalam dalam bab lembah
berbatu. Keluarga Yosep adalah keluarga yang taat pada norma dan tatasusila,
keluarga kecil dan bahagia (ayah, ibu dan dua anak). Anak yang pertama adalah
anak adopsi (anak angkat), anak kedua adalah anak biologis (anak nasab/sungguh)
“Cecep dan Dede”. Dalam kehidupan sehari-hari kedua anak tersebut merupakan
anak yang patuh dan taat pada tatakrama dan norma hukum.
Perjalanan
kehidupan mulai terjadi, terpaut pada meninggalnya kedua orang tua “Eceep dan
Dede”, kehidupan baru mulai di jalani “Eceep dan Dede” untuk menata kehidupan baru
tanpa kedua orang tua sebgai sandaran tempat berlindung. Tiba saatnya, waktu
pembagian harta peninggalan orang tua, kedua anak tersebut “Cecep dan Dede”.
Beredar
rumor dari lingkungan warga sekitar tentang posisi kedua anak almarhum Bapak
Yosep, Cecep anak adopsi (anak angkat) dan Dede anak biologis (anak nasab/sungguh)
terkait harta peninggalan. Rumor tersebut sampai terdengar di telinga kedua
anak itu, dan terjadi selisih pandangan dalam pembagian harta peninggalan itu. Dede
anak biologis (anak nasab/sungguh), pandangannya “sebagai anak biologis/nasab
mendapat 70% (tuju puluh persen) bagian dari total 100% (seratus persen) harta peninggalan
itu, dalam pembagian harta peninggalan orang tua” dan Cecep sebagai anak adopsi
(anak angkat) mendapat 30% (tiga puluh persen) bagian dari total 100% (seratus persen)
harta peninggalan itu, dalam pembagian harta peninggalan orang tua”. Pandangan
Dede tersebut tidak di terima oleh Cecep, karena Ececep merasa tidak adil dalam
pembagian harta peninggalan orang tuanya.
Keberatan
Cecep, dikatakan sebagai anak adipsi. Cecep berpegang pada surat Adopsi Anak
almarhum Yosep dan didukung dengan Akta Kelahiran tertulis nama almarhum sebagi
orang tuanya. Kata Cecep, persoalannya “kita berdua ini sama-sama anak almarhum”,
seharusnya kita berdua mendapatkan pembagian yang sama 50 : 50 (vifti-vifti). Dengan
jawaban dari pandangan Cecep ini, dapat menghilangkan rasa keadilan norma agama
dan kultur masyarakat yang diyakini Dede sebagai anak biologis pada nilai karakter
(etika moral/akidah akhlak dan hukum) dalam lingkup syariah sebagai pelengkapnya
nilai masalih al-mursalah maupun
nilai Istihsan.
Disini
letak kedudukan persoalan nilai karakter ekonomi politik, terkait nilai keadilan
(etika moral/akidah akhlak dan hukum). Dede mempertahankan pembagian hartanya
sebagai anak biologis dengan garis lurus nasab almarhum Yosep ayahnya. Cecep
juga mempertahankan pembagian hartanya dengan bukti yang tertulis di Akta
Kelahiran, tertulis nama almarhum Yosep sebagai ayahnya. Nilai-nilai karakter
ini (etika moral/akidah akhlak dan hukum) yang sering dikesampingkan oleh para kita,
mengabaikan pemerataan keadilan dalam mengadili duduk pembenaran suatu keadilan.
Adil bukan seharusnya sama, tapi adil yaitu dapat menempatkan nilai keadilan
pada proporsi yang semestinya.
Etika/moral
dan akidah/akhlak merupakan sikap yang tak terlihat (abstrak) sebagai frasa yang
sering terabaikan dalam nilai ekonomi, politik, hukum dan hankam. Nilai ini
yang sering membuat setiap kita merasa egois, padahal nilai itu pratis dan
efektif dalam jiwa manusia dan tindakan manusia dan melembaga secara obyektif
di dalam masyarakat. Nilai ini merupakan suatu realita yang sah sebagai suatu
cita-cita yang benar dan berlawanan dengan cita-cita palsu atau bersifat
khayali. (Abd. Mujib Muhaimin, 1993: 109).
Begitu
juga dalam karakter nilai (etika moral/akidah akhlak dan hukum) sebagai
gambaran sejalan dengan pandangan (Abdul majid, Dian andayani, 2010: 11) Karakter
adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas
seseorang atau sekelompok orang. Juga dalam pandangan (Yahya Khan 2010: 1) Karakter
juga bisa diartikan sikap, tabiat, akhlak, kepribadian yang stabil sebagai
hasil proses konsolidasi secara progresif dan dinamis.
Hukum
merupakan suatu hal yang penting dalam menciptakan kehidupan dunia yang adil,
namun sangat disayangkan masyarakat nyaris kehilangan kepercayaan terhadap
karakter hukum yang berlaku pada kebijakan keadilan, bahkan orang-orang jujur
sudah mulai bersifat munafik lantaran pengaruh budaya hukum yang berlaku dalam
masyarakat. Ironisnya lagi para penegak hukum sering bermain mata dalam
penegakan keadilan, bahkan sangat berlebihan para guru yang berperan sebagai
pendidik karakter bangsa justru melakukan pembiaran terhadap penyimpangan-penyimpangan
pada karakter nilai hukum etik/moral dan akidah/akhlak yang terjadi, lantaran
ketakutan terhadap jerat hukum yang berlaku munafik yang tidak bisa membedakan
antara yang pantas dan yang tidak pantas.
Untuk
menentukan rasa aman dan adil pada nilai karakter ekonomi politih hukum (etika
moral/akidah akhlak dan hukum), perlu adanya pembaharuan. Solusi dalam nilai karakter
ekonomi politik, pandangan hukum Islam sebenarnya merupakan usaha penetapan
hukum yang mampu menjawab permasalahan baru dan perkembangan baru yang
ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan cara
menjadikan perkembangan baru itu sebagai pertimbangan hukum agar hukum tersebut
benar-benar mampu merealisasikan tujuan syari’at (maqashid al-syar’iyat). Hukum yang mampu merealisasikan maslahah manusia yang merupakan tujuan
syari’at itu adalah hukum yang selalu berpedoman pada prinsip-prinsip dan
nilai-nilai dasar yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis.
Dengan demikian, pembaharuan hukum Islam itu
berarti usaha menetapkan suatu ketentuan hukum yang sesuai dengan
prinsip-prinsip maslahah dan nilai-nilai
dasar ajaran Islam yang di dalam pemaknaannya di dukung oleh perkembangan baru
sebagai suatu pertimbangan dalam menyebarkan prinsip-prinsip dasar itu.
Secara
umum kebijakan atau policy yang
berlaku di masyarakat dipergunakan untuk menunjukan perilaku seseorang aktor
misalnya seorang pejabat negara, partai politik maupun lembaga tertentu. Pada
dasarnya terdapat banyak batasan atau pengertian mengenai apa yang dimaksud
dengan kebijakan. Menurut (Noeng Muhadjir, 1993: 15) kebijakan merupakan upaya
memecahkan problem sosial bagi kepentingan masyarakat pada asas keadilan dan
kesejatheraan masyarakat. Dan dipilih kebijakan setidaknya harus memenuhi empat
butir yakni; (1) tingkat hidup masyarakat meningkat, (2) terjadi keadilan : By the law, social justice, dan peluang
prestasi dan kreasi individual, (3) diberikan peluang aktif partisipasi
masyarakat (dalam membahas masalah, perencanaan, keputusan dan implementasi)
dan (4) terjaminnya pengembangan berkelanjutan.
Gambaran
penjelasan di atas diketahui bahwa nilai krakter ekonomi politik pada kebijakan
keadilan hukum merupakan petunjuk dan batasan secara umum yang menjadi arah
dari tindakan yang dilakukan dan aturan yang harus diikuti oleh para pelaku dan
pelaksana kebijakan karena sangat penting bagi pengolahan karakter dalam
mengambil keputusan ekonomi politik atas perencanaan yang telah dibuat dan
disepakati bersama. Dengan demikian kebijakan menjadi sarana pemecahan masalah
pada maslahah atas tindakan yang
terjadi.
Salah
satu nilai kebijakan yang melanda bangsa kita pada kebijakan ekonomi politik
yang muncul di luar dari pandangan para ahli ekonomi Islam adalah maslahah. Konsep ini pertama kali
dimunculkan oleh Imam Maliki pendiri Mazhab Maliki, dengan istilah lengkapnya masalih al-mursalah atau semakna Istihsan oleh Imam-imam lainnya.
Selanjutnya dikembangkan lebih jauh oleh Abu Ishak Ibrahim Musa Al-Shatibi (w.
700/1388) yang telah memberikan kontribusi signifikan dalam karya al-Muafaqat.
Nilai karakter (etika moral/akidah akhlak dan hukum) pada Ekonomi politik syari’ah kini ingin menegaskan kembali sembari menawarkan solusi-solusi yang mengakar dan tersistematis melalui nilai-nilai luhur Islam yang telah terbukti selama berabad-abad. Melalui empat pilarnya, ekonomi politik Islam hendak menjawab tantangan zaman yaitu ;
1.
Kesatuan (unity)
2.
Keseimbangan (equilibrium)
3.
Kebebasan (free will)
4.
Tanggung jawab (responsibility).
Empat pilar inilah yang akan menjadi "Haluan dalam pelayaran ekonomi sebagai kemudi" pada roda perputaran ekonomi politik kehidupan masyarakat yang bermartabat, sehingga keadilan ekonomi sosial politik bukan hanya isapan jempol semata.
Pandangan
Said Ramadhan Al-Buthi (1977) Maslahah
adalah manfaat yang ditetapkan shâri’
untuk para hambanya yang meliputi pemeliharaan agama, diri, akal, keturunan dan
harta mereka sendiri sesuai dengan urutan tertentu. Selain itu al-Syaukâni
menguraikan maslahah lebih
terperinci, maslahah memiliki makna yang berbeda-beda. Maslahah adakalanya disebut al-munâsabah
karena untuk mendapatkan kepastian hukum dari permasalahan yang tidak ada
dalilnya seseorang dapat melakukan munâsabah,
yaitu membandingkan dengan permasalahan nas
al-Qur’an. Adakalanya maslahah
disebut dengan al-Halât, karena
mungkin juga manusia menduga-duga adanya kemanfaatan dibalik suatu hukum. Maslahah disebut dengan ri’âyah al-maqâsid. Karena dengan
mewujudkan kemaslahatan berarti mewujudkan dan menjaga tujuan shara’, yaitu kemaslahatan umum. Lebih
jelasnya bahwa maslahah adalah
sesuatu yang perlu untuk dilestarikan dan sejalan dengan keinginan manusia
untuk menarik manfat dan menolak bahaya.
Kemudian
dalam kejelasan Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad Al-Syatibi, salah satu Ulama’
Madzhab Maliki mengatakan bahwa maslahah
adalah setiap prinsip shara’ yang
tidak disertai nas khusus, namun sesui dengan tindakan shara’ serta maknanya diambil dari dalil-dali shara’. Makna prinsip tersebut adalah sah sebagai dasar hukum dan
dapat dijadikan bahan rujukan sepanjang ia telah menjadi prinsip dan digunakan
oleh shara’ yang qat'î.
Jika
dicermati dari kemunculan ekonomi politik Islam abad modern ini, ia tampak
sebagai “jalan baru” di persimpangan jalan buntu kebijakan karakter. Dikatakan
demikian, karena muatan yang terkandung di dalamnya lebih bersifat
materialistik. Perayaan mengenai prakteknya diramaikan oleh beberapa kalangan
seperti akademisi, praktisi, bahkan ada peran strategis dari negara
(pemerintah). Mendalami kajian karakter ekonomi politik mengenai paradigma maslahah dalam ekonomi politik syari’ah
menjadi perlu sebagai bentuk ikhtiyar dalam menemukan sumbu maslahah yang selama ini terpendam oleh
sistem yang masih bersifat materialistik.
Hal
berbeda mengenai nilai karakter ekonomi politik dalam pandangan Ibnu Khaldun lebih
mengarah konsep kesejahteraan. Kesejahteraan tidak saja untuk pemenuhan
kebutuhan dasar jasmani, melainkan juga kebutuhan nonmaterial. Salah satu
kebutuhan non material yang paling penting adalah keadilan. Syarat
kesejahteraan lainnya, menurutnya, adalah 1) ketenangan mental, 2) keharmonisan
keluarga dan masyarakat, 3) persaudaraan umat manusia, 4) kebebasan, 5) keamanan
harta benda, 6) keamanan hidup, 7) minimisasi kejahatan dan penekanan.
Olehnya
itu, untuk teraplikasinya nilai karakter (etika moral/akidah akhlak dan hukum) dalam
ekonomi politik tersebut, baik pemangku kepentingan (eksekutif, legislatif dan
yudikatif) menempatkan nilai adil pada proporsinya, agar Cecep dan Dede merasa
tidak terabaikan hak-hak porsi pembagian harta peninggalan orang tuanya, maka untuk
mendapatkan hak kesejahteraannya dari interaksi faktor-faktor ekonomi dengan
faktor-faktor moral, sosial, demografis, politis dan historis yang terintegrasi
sedemikian rupa sehingga masing-masing faktor tersebut tidak akan bisa
berkontribusi optimum dengan menghilangkan salah satunya. Kesejahteraan yang
hakiki mustahil akan pernah terealisasi tanpa adanya keadilan. Sebagaimana
penegasan dalam Al-Qur’an bahwa penegakan keadilan itu dasar tujuan diutusnya
para rosul (QS.57:25).
Dari
paparan tersebut, dapat dipahami bersama bahwa maslahah dalam ruang ekonomi politik syari’ah memiliki dua
pengertian. Pertama maslahah yang
bersifat non-materi. Dan kedua, maslahah
yang bersifat materi. Keduanya harus saling menguatkan. Syed Nawad Haider Naqvi
menawarkan framework atas persoalan yang sedang menimpa ekonomi politik umat
Islam sebagai dasar pijak bagi solusi konseptual. Dengan bingkai kaidah syariah
“Al-Ashlu fi alaf’âl al-taqayyudu bi
al-hukm al-syar’i” (Prinsip dasar mengenai perbuatan manusia, adalah wajib
terikat dengan syariah Islam), menurutnya ada tiga asas yang harus
diperjuangkan dalam membangun paradigma ekonomi syariah, yakni nilai, etika dan
dasar Islam.
Al mashlahah sebagai
salah satu model pendekatan dalam ijtihad menjadi sangat vital dalam
pengembangan ekonomi politik Islam dan siyasah
iqtishadiyah (kebijakan ekonomi). Supaya tidak terjadi penguasaan seenaknya
pada sekelompok kecil (orang atau individu) yang dapat menguasai hampir separuh
kekayaan yang ada di bumi pertiwi tercinta ini. Mashlahah adalah tujuan yang ingin diwujudkan oleh syariat. Mashlahah merupakan esensi/karakter dari
kebijakan-kebijakan ekonomi politik syari’ah (siyasah syar`iyyah) pada tataran ekonomi, hukum dan hankam dalam
merespon dinamika sosial, politik, dan ekonomi. Maslahah `ammah (kemaslahatan umum) merupakan landasan muamalah,
yaitu kemaslahatan yang dibingkai secara syar’i,
bukan semata-mata profit motive dan material rentability sebagaimana dalam
ekonomi konvensional.
Hukum
yang semestinya memberikan rasa aman dan rasa keadilan pada masyarakat, justru
berbalik rasa, memberikan rasa khawatir dan rasa takut karena banyak terjadi kejahatan
(seperti Cecep dan Dede) dan bahkan pada unsur pimbinan (eksekutif, legislative
dan yudikatif) penyelewengan yang semakin tidak terbendung dan semakin tidak
terkendali. Untuk itu, kembalikan kerakter hukum yang seharusnya, sehingga pada
akademisi (dosen/guru) dan pegiat keadilan tidak lagi takut untuk melaksanakan
tugas dan tanggung jawabnya dengan baik. Dengan begitu generasi bangsa dapat
terselamatkan dan pemerataan distribusi kekayaan adil dan merata serta bimi Pertiwi
terselamatkan dan bangsa Indonesia tetap dalam kejayaan.
Toboleu,
31 Juli 2020

Komentar
Posting Komentar