Warga negara Indonesia akan merasa bahagia sebagai anak bangsa, bila tidak ada indikasi perlawanan oleh anak bangsa Indonesia dan tidak mempunyai tuntutan yang berlebihan. Anak bangsa mengenal konsep berkecukupan. Cukup itu berarti tidak kaya, tidak menumpuk harta sebanyak-banyaknya, tidak melakukan kapitalisasi. Karena sudah merasa berkecukupan, kalau sudah cukup, maka sudah bahagia. Sebaliknya, konsep kebahagiaan dalam pandangan Barat yang dianut saat ini adalah mengumpulkan aset sebanyak-banyaknya. Kalau itu yang jadi ukurannya, maka tidak cocok dengan kondisi bangsa kita.
Pertumbuhan penduduk anak bangsa yang tinggi merupkan tantangan tersendiri disetiap negara termasuk Indonesia untuk menyediakan bahan pangan bagi rakyatnya. Pangan merupakan segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak, diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, atau pembuatan makanan dan minuman (Peraturan Menteri Pertanian No. 25/Permentan/OT.140/2/2010).
Indonesia sebagai negara berkembang. Negara berkembang memiliki ciri-ciri (1) standar kehidupan rendah; (2) tingkat pendapatan yang rendah; (3) produktivitas rendah; (4) angka beban ketergantungan yang tinggi; (5) angka pertumbuhan penduduk tinggi; (6) besarnya pengangguran; (7) ketergantungan pada sektor pertanian dan ekspor produk primer. Setiap tahun, jumlah penduduk Indonesia mengalami peningkatan sebesar 3,7 hingga 4 juta jiwa.
Belum banyak yang mengetahui bahwa tanggal 20 Maret telah ditetapkan sebagai International Happiness Day oleh PBB sejak tahun 2012. Semua orang pasti setuju bahwa kebahagiaan merupakan hal utama yang ingin diraih. Dengan mengukur kebahagiaan, negara dapat terhindar dari “happiness traps”. Happiness traps telah terjadi di US dimana Produk Nasional Bruto terus meningkat namun kebahagiaan stagnan bahkan menurun (Beseiso, 2016).
Masyarakat Indonesia tidak bersandar pada filosofi Protestan Etik sebagaimana digagas oleh kapitalisme di Barat. Protestan Etik bermula di Eropa, dan negara-negara Eropa dibangun oleh Etik tersebut dan etos kerja mereka mendukung itu semua. Kerena uang telah dijadikan sebagai komoditi, bisa dikatakan “kalau punya uang tidak dihabiskan”, tapi ditabung (investasi), dikumpul sampai menumpuk. Setelah modal terkumpul akhirnya melakukan kapitalisasi. Yang kemudian akan melahirkan orang-orang yang berharta bila dibandingkan dengan orang lain. Dan pada penghujungnya dapat melakukan eksploitasi pada negara maupun pada orang yang lemah.
Hal ini berarti bahwa kebutuhan pangan bagi penduduk warga negara juga semakin besar. Di satu sisi Indonesia merupakan negara agraris terbesar di dunia dan pertanian menjadi sumber mata pencaharian yang paling banyak ditemui, dan disisi yang lain mengalami banyak kendala seperti persoalan pengelolaan lahan dan gagal panen. Persoalan ini semakin kompleks dengan semakin berkurangnya lahan pertanian produktif yang bisa diusahakan oleh petani untuk memproduksi bahan pangan, karena wilayahnya pertanian semakin berkurang akibat pembangunan pemukiman, juga karena ketertarikan generasi muda untuk berprofesi sebagai petani juga sangat rendah. Jika hal ini terus menerus terjadi, maka cepat atau lambat, kelangkaan bahan pangan akan terjadi dan penduduk akan mengalami kesulitan untuk mengakses bahan pangan yang dapat berujung pada bencana kelaparan. Produksi bahan pangan dalam bidang pertanian perlu menjadi perhatian serius untuk segera ditangani.
Kebahagian dalam tolak ukur warga masyarakat saat ini, pada nilai Etik/moral ekonomi yang menjadi pembeda pada ukuran kebahagiaan umumnya, dan berbeda dengan kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia pada khususnya, Ekonomi warga masyarakat itu "Ekonomi Cukup" berdasarkan nilai Etik/moral. Dari dulu orang Indonesia menerapkan itu: punya rumah, bisa menyekolahkan anak, bisa naik haji. Itu saja sudah cukup. Ini yang berbeda dengan Eropa kontinental. Mereka punya sifat tak puas, maka mereka perlu melakukan akumulasi modal, melakukan kapitalisasi, menumpuk harta sebanyak-banyaknya.
Inilah yang berbeda, etos kehidupan sosial kita, basisnya adalah komunalisme. Pola hidupnya komunitarian. Prinsipnya berbagi. Misalnya konsep lumbung padi. Hampir di semua kebudayaan dari Sabang sampai Merauke pasti masyarakat tradisionalnya punya lumbung padi, meskipun namanya berbeda-beda. Saat panen, padi tak dihabiskan semua. Tapi dikumpulkan, disimpan. Dan itu bukan untuk pribadi. Tapi digunakan bersama bila ada musibah, karena panceklik hingga stok pangan terancam.
Konsep kebahagiaan yang di miliki warga masyarakat yang berdidikasi moral tinggi sebagai bangsa Indonesia, tidak seperti indeks kebahagiaan yang dibikin oleh Eropa. Kebahagiaan warga masyarakat Indonesia dalam ukuran sangat sederhana. Pada masyarakat kita tidak menganut ekonomi Protestan Etik yang menggumpal jadi etos kapitalisme modern. Masyarakat Indonesia menjunjung tinggi nilai Moral/akidah maupun akhlak. Persoalannya, warga masyarakat kita ditarik dan dipaksa untuk mengikuti pola permainan seperti yang dilakulan orang Barat. Jelas bertolak belakang dengan moral bangsa kita. Dengan nilai etik/moral maupun akidah/akhlak yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia sudah mengenal nilai seperti itu. Dalam kehidupan komunal kita, tidak pernah ada yang mati karena kelaparan.
Ketika negara atau pemerintah tidak hadir mengurus rakyatnya, dengan kekayaan bangsa yang berlimpah ini, rakyat masih bisa hidup dengan pola agraris mengolah pangannya, walaupun pemerintah enggan memperhatikannya, rakyat masih bisa hidup kecukupan dan tetap bahagia. Yang membuat kebahagiaan terdistorsi justru pemerintah dengan segala perangkatnya menggoda rakyat (untuk mengumpulkan kapital). Karena basis ekonomi negara kita neo-kapitalisme. Rakyat digiring mengumpulkan modal dan mengkapitalisasinya, sehingga rakyat jadi manusia kapitalis. Padahal dalam akar kultural masyarakat kita sangat komunal, tidak individualism.
Beredar opini, terdengar dan dianggap benar, kalau ekonomi tumbuh tinggi di suatu negara berarti negara tersebut sudah di anggap maju dan warganya sudah bahagia. Padahal itu bukan jaminan mutlak.
Hal ini, senada perkataan Deputi Neraca dan Analisis
Statistik Badan Pusat Statistik (BPS) Kecuk Suharyanto dalam paparan indeks
kebahagian dan ketimpangan, dikatan ada tiga
dimensi dalam mengukur kebahagiaan;
ü Pertama, dimensi personal dengan komponen di dalamnya, yaitu pendapatan, tingkatan pekerjaan dan kondisi rumah dan aset yang dimiliki, ketiga komponen ini memberikan andil cukup besar dalam kebahagiaan.
ü Kedua, dimensi sosial adalah kondisi individu dengan individu lainnya yang sangat dekat, Salah satunya adalah keluarga, keharmonisan keluarga sangat berperan dalam menciptakan kebahagian.
ü Ketiga, dimensi lingkungan dikaitkan dengan kondisi
individu dengan keamanan di sekitar aktivitasnya. Kemudian juga dengan
keakraban dengan para tetangga atau pihak yang berada di luar keluarga.
Berkembangnya dan terciptanya kebahagiaan di suatu negara bukan hanya dilihat dari segi ekonominya saja, tetapi perlu disentuh dengan persoalan yang lain. Seperti pendidikan, kesehatan dengan keharmonisan antar lingkungan sehingga menjadi pelengkap yang bagus untuk kebahagian. Pertumbuhan ekonomi memang menentukan tingkat kemajuan suatu bangsa, namun pemerintah perlu memperhatikan hal lain yang sangat penting nilai kultur budaya masyarakat setempat dalam usaha menyejahterakan rakyatnya. Sejahtera dalam arti yang sesungguhnya, bahagia, sejahtera lahir dan batin.
Ekonomi kebahagiaan menyoroti variabel kebahagiaan sebagai tujuan utama manusia. Ekonomi kebahagiaan mengkombinasikan teknik para ekonom dan psikolog dalam mempelajari kesejahteraan. Dikatakan oleh Easterlin (1974) tercatat sebagai pionir di bidang ini. Berdasarkan analisis data cross section negara-negara di dunia, disimpulkan bahwa peningkatan pendapatan tidak diikuti dengan peningkatan kebahagiaan. Fenomena ini disebut sebagai Easterlin Paradox. Easterlin Paradox kebanyakan terjadi di negara-negara maju. Setiap negara memiliki tantangan untuk mewujudkan kesejahteraan.
Sejak tahun 1970-an, ukuran kesejahteraan untuk melengkapi PDB mulai digunakan. antara lain Indeks Pembangungan Manusia, Green GDP, Index of Social Progress, dan Index Well-Being (termasuk di dalamnya kebahagiaan). Ekonom Islam juga telah mengembangkan index well-being dengan didasarkan pada nilai-nilai Islam seperti Islamic Human Development Index (Hendrieanto, 2009) dan Islamic index of Wellbeing (Batchelor, 2006).
Hal senada, berbeda dengan Ekonomi Konvensional, perihal kebahagiaan telah mendapat posisi yang penting dalam Ekonomi Islam serta memiliki nilai moral dan filosofis yang dalam (Abde & Salih, 2015). Dalam Ekonomi Islam terdapat konsep Falah yang merupakan tujuan hidup. Falah berasal dari kata aflaha-yuflihu. Falah merupakan kebahagiaan dunia dan akhirat (Misanam, Suseno, & Hendrieanto, 2012). Menurut Akram Khan dalam bukunya An Introduction to Islamic Economics, “Its verbal form aflah,, yuflihu means: to thrive; to become happy; to have good luck or success; to be successful.”
Olehnya itu, penilaian kesejahteraan bukan hanya dalam arti parsiyal saja tapi juga dalam arti sesungguhnya, yakni sejahtera lahir dan batin/kebahagiaan perlu dijadikan isu penting agar tidak terjebak dalam unsur materi/uang semata. Dalam piramida kebahagiaan dan unsur-unsur falah dapat dijadikan sebagai pijakan dalam nilai-nilai kepuasan batin pada penentuan pandangan variabel yang perlu dilibatkan kehadiran yang sesungguhnya.
Dari semua pandangan tersebut di atas dapat memberikan petunjuk kepada kita bahwa tingginya pencapaian angka ekonomi suatu negara tidak selalu diikuti oleh "kebahagiaan" hidup masyarakatnya. Dengan kenyataan carut-marutnya kebijakan politik dan ekonomi, kesenjangan dan kemiskinan, untuk itu dalam menata permulaan yang baru dan untuk mengatur kebijakan baru, untuk mengawalinya di tahun 2020 ini, hendaknya aspek non-ekonomi menjadi suatu hal yang patut untuk diperhatikan oleh pemerintah, agar pembangunan ekonomi dapat terasa kualitasnya dan dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Banyak yang menyoal tentang kebahagiaan terkait isu integrasi, demokrasi, dan radikalisme berbasis ideologi trans nasional, isu yang menjadi sumber konflik suatu bangsa yang memicu disintegrasi yaitu: suku agama dan ras (sara) yang dapat memecah belah bangsa karena perbedaan warna bendera, dengan berbagai istilah yang menyinggung dan melukai.
Menarik disimak istilah yang terbangun dalam masyarakat yang terpecah (qadrun, kampret, pancasilais dan yang tidak pancasilais) seakan ada sebuah lakon drama yang sengaja dibiarkan untuk ditonton, untuk mengikis hati para penonton agar menjauh dari rasa kebahagiaan yang sudah terbangun. Seakan-akan terlihat bahwa negara sengaja membiarkan para elit berklaborasi untuk menghadirkan pemerintah untuk membagun kebahagiaan semu seakan mamapu bahwa "Negara baru dapat berbuat dan membangun citra seakan menjadi entitas yang riil apabila ketika pemerintah mampu melakukan atau memberi sesuatu yang berbeda kepada rakyatnya". Dengan kehadiran pemerintah untuk menampakkan hadirnya kebijakan riilnya negara yang pada akhirnya memunculkan anggapan masyarakat sebagai sesuatu yang dapat dilihat dan diraba oleh warga masyarakatnya. Tampak nyata bahwa langkah-langkan pemerintah itu, negara hanyalah komunitas segelintir entitas yang hidup di dalam nalar pemerintah sebagai angan-angan, ini yang berbeda dengan mayoritas warga negaranya dalam imajinasi warga negara yang tak pernah menjadi kenyataan bahagia dan masyarakat hanya mengenal nilai Etik/Moral bahagia itu yang tergambar pada lambang Garuda di sila ke-5 Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia dan di ramaikan dengan nyayian lagu Indonesia Raya saja.
Toboleu, 25 Juli 2020

Indeks kebahagiaan, indeks kesejahteraan, indeks kemakmuran, indeks maqashidi, indeks keberkahan dan indeks sumberdaya manusia seharusnya sudah mulai digunakan dalam ekonomi. Ini akan positif, seperti penggunaan indeks gini untuk mengukur tingkat pemerataan ekonomi.
BalasHapus