Langsung ke konten utama

MEMILAH FAHAM PARLENTE



 

Pada hakekatnya Pancasila dibutuhkan sebagai pedoman bernegara di tengah keragaman bangsa Indonesia. Pancasila menjadi pemersatu diversitas bangsa yang oleh Nurcholish Madjid (Cak Nur) menyebutnya kalimatun sawá (common platform) bagi keindonesiaa. Pancasila adalah konsensus nasional yang paling maksimal setelah para the founding fathers dari kalangan Islam “terpaksa” menerima penghapusan tujuh kata di dalam Mukadimah Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Jadi pengorbanan perasaan umat Islam ini menjadi bagian dari ingatan kesakitan (memoria passionis) umat Islam yang tidak boleh diabaikan oleh kekuatan-kekuatan sekuler.

Setelah penghapusan tujuan kata itu, untuk mendamaikan “kekecewaan” umat Islam itu,  para ulama menafsirkan sila pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah Tawhîd yang tak lain adalah keyakinan fundamental umat Islam dan hal itu bisa diterima. Namun, saat ini sila utama Pancsila itu sedang menghadapi turbulensi politik. Padahal semua orang tahu bahwa cuaca politik di Indonesia di era Jokowi ini luar biasa “dibikin” begitu hening. Hampir semua kekuatan politik dan kalangan civil society (akademisi, pers, pengamat dan aktivis) yang di saat rezim politik sebelummnya selalu kritis pun dibuat bungkam.

Tak ada hujan tak ada angin membuat kolam kebangsaan itu bening tak beriak, Momen ini dimanfaatkan oleh kekuatan politik dominan di parlemen untuk menginisiasi sebuah rancangan norma perundang-undangan yang mengusik ketenangan umat Islam yang secara ikhlas telah menerima Pancasila sebagai dasar negara. Apakah hal ini bagian dari strategi testing the water para inisiator? Jika iya berarti strategi mereka berhasil memberi jawaban bahwa dominasi politik mereka di parlemen belum tentu menggambarkan kekuatan politik riil di luar parlemen. 

RUU HIP yang ingin melebur sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sekedar gotong-royong mengundang tanda tanya besar. Memangnya gotong-royong itu apa? Gotong-royong adalah idiom paling awam dari sosialisme dan dalam perkembangannya yang lebih ektrim, ia akan bermatamorfosa menjadi komunisme. Sementara sejak awal, umat Islam meyakini terbalik bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa menginspirasi dan memberi warna bagi sila-sila lainnya.

Pengamat politik sosial dan ekonomi Joko Edi Abdurrahman mengatakan bahwa Mehawati Sukaro Putri telah terjebak dalam RUU HIP, dan Ulama juga meminta orang-orang yang terlibat yang berada di belakangnnya RUU HIP untuk diminta pertanggung jawabannya. Kita bisa melihat banyak Partai yang ada di Republik ini, Partai Nasionalis dengan haluan gagasan Ide-idenya dan Partai dan Partai Non Nasionalis dengan haluan Gagasan Ide-idenya. Buka mata, buka hati, buka telinga untuk merevenyu Partai-partai penyokong IDE yang Menbenturkan Agama di Negara Bangsa ini, Saatnya semua Pilihan itu ada di Genggaman tangan Anda, semoga Anda tidak salah menentukan pilihan Partai dan Orangnya untuk menentukan Keadilan dan Amanah pada Kemakmuran Nasib Bangsa.

Pancasila sendiri membutuhkan kehadiran nilai-nilai ketuhanan yang bersumber dari agama. Agar pandangan ini lebih netral dan toleran. Pandangan Konstituante dari unsur PNI beragama Kristen, Arnold Mononutu. Menurutnya, “baik sila Kebangsaan (sila ke-3) dan sila Kedaulatan Rakyat (sila ke-4), maupun sila Keadilan Sosial (sila ke-5), ataupun sila Pri-Kemanusiaan (sila ke-2) semua itu bersumber pada sila pertama.  Pancasila, menurutnya, merupakan weltanschauung yang bersumber pada ke-Tuhanan Yang Maha Esa”.  Untuk menguatkan pendiriannya itu, ia mengutip ayat-ayat dari Kitab Suci Injil. Baginya, Pancasila tanpa sila ke-Tuhanan Yang Maha Esa akan merupakan ideologi materialistis semata-mata.”

Umat Islam tidak Fanatik Agama, fakta nyata setiap pemelihan, baik Pemelihan Eksekutif maupun Legislatif bahan Presiden sekalipun. Partai pememenang bukanlah Partai-partai yang ber-Idiologi Islam, walaupun mayoritas pemilih adalah Umat Islam. Kenyataannya yang menjadi pemenang dalam Pemilihan-pemelihan adalah Parta-partai yang beraliran Nasionalis Kekinian. Tetapi pada ranah ke-Agamaan, jangan membentur “UMAT” dengan “FAHAM PARLENTE”, umat sudah melebur dengan sila-sila dalam Pancasila yang ber-Bhinneka Tunggal Ika sebagai Pemersatu Umat dan Bangsa. Bila Fondasi pemersatu Umat dan Bangsa disusupi “FAHAM PARLENTE” jangan Menyalahkan uamat dan rakyat yang berjuang mempertahankan Pancasila dengan Cara-cara, yang di bilang agak sedikit Progresif demi persatuan bangsa.

Ada Aksi pasti ada Reaksi, Siapa di balik Aksi RUU HIP ini…., Partai apa Pengusung RUU HIP ini…., yang membuat gaduh Umat dan Bangsa ini. Para penegak Hukum yang Berdedikasi sebagai Penyedik yang berintegritas, sampaikan ke publik inilah TKP yang sebenarnya agar keimanan, keamanan dan kenyamanan dapat terkendali dan terjaga.

Faham Parlente dengan gagasan ideologisasi Pancasila lewat RUU HIP ini didasari pada xenophobia rezim politik saat ini terhadap berkembangnya ideologi-ideologi baru yang dianggap bertentangan dengan Pancasila, padahal praktek-praktek kebangsaan kita banyak bertentangan dengan Pancasila itu sendiri. Coba lihat, penguasaan aset-aset ekonomi nasional oleh investasi asing, kerusakan lingkungan hidup, gaya materialis urban, wabah narkotika yang tak lagi mengenal batas usia, pragmatisme, konsumerisme, individualisme, hedonisme dan agnostisisme di kalangan pelajar dan mahasiswa, kekerasan pada anak dan keluarga, pengangguran, derita pekerja migran dan lain-lain adalah masalah-masalah yang sebetulnya tidak diinginkan oleh Pancsila itu sendiri.

Ummat hanya menginginkan eksistensi agama dalam hubungannya dengan kehidupan kenegaraan (secara ideal) tetap harmonis dan berkelindan. Tidak perlu seberapa intens seorang kepala negara mengundang para ulama ke Istana Negara tetapi yang terpenting adalah seberapa besar deliberasi Islam dalam setiap pengambilan keputusan kenegaraan.

Dalam situasi merebaknya ideologi-ideologi populis, tak ada jalan lain, Pancasila harus diurapi dengan agama, karena agamalah yang memiliki kekuatan preventif sekaligus koersif bagi penganutnya agar selalu menjaga kepatutan, konsistensi, persistensi, kritis, menghargai perbedaan dan berorientasi pada perubahan yang lebih baik.

Sampailah pada saatnya, memilihlah orang-orang “pilihan terbaik” anda dengan hati, janganlah menyandra hati anda memilah dengan Uang. Pimpinan yang terbaik, tidak memerlukan banyaknya Anjing pengawal sebagai pagar betis yang dapat menggonggong bila majikannya terusik. Tetapi Pimpinan yang Berdedikasi baik, tidak membutuhkan Anjing pengawal, karena di setiap sudut pengawalannya telah di jaga oleh perit Rakyat yang kekenyangan. 

 

 

Toboleu, 25 Juni 2020

 


Komentar

  1. Pertarungan idiologi, perebutan makna, tidak akan pernah mati dalam negara konsensus. Wacana dan kontra wacana akan selalu mewarnai langit publik, disebutlah republik. Karena idiologi ini barang ghaib, tidak terlihat tapi pengaruhnya besar pada sebuah bangsa. Sehingga wajar bila diperbincangkan terus. Inilah konsekuensi dari multikultural kondisi kita. Pagi yang dingin di puncak Toboleu.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SANDIWARA HUKUM

Belakangan ini penanganan kasus-kasus besar Negara sepertinya jalan di tempat, kami rakyat bisa timbul persepsi beragam pada Penegakan Hukum oleh Negara. Seperti Kasus Nurhadi dan Harun Masiku, bila dibandingkan dgn kasus Ruslan Buton. Satu pihak merugikan Rakyat dan Negara, dan satu pihaknya lagi membela Rakyat dan Negara, kelihatannya seperti permainan dlm sinetron, penontonnya penasaran dan juga dpt menebak Lakon alur Cerita Adegan. Bisa di katakan mencederai Ke-Adilan di hati Rakyat. Adegan demi adegan dimainkan sesuai komsep Sutradara, lakon cerita Mereka sama-sama berada di Bumi yg Sama yg satu bisa di TEROPONG dan yg Satunya lagi Tdk bisa DiTERAWANG, padahal di katakan "di bumi mana Anda berpijak - Bumi itu harus di junjung" Apakah ini yg di namakan ke-Adilan atau Peradilan Semu...., disisi lain ada yang merasa kebal dengan Hukum dan tidak bisa hukum menyentuhnya, di lain Pihak sangat sigap dan cepat terjerat dgn Hukum, hanya sekedar membela Prinsip Etika Pembenaran ya...

SELAMAT DATANG

Pesta Rakyat Anak Negeri Pilkada 2020

Pelaksanaan Pilkada secara langsung dipilih oleh rakyat telah dimulai pada tahun 2005. Melalui UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, mekanisme pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD yang dianut UU No.22 Tahun 1999 diubah secara drastis menjadi pemilihan secara langsung oleh rakyat. Sepuluh tahun kemudian yakni pada 2015, penyelenggaraan Pilkada langsung secara serentak pertama kalinya berlangsung di 269 wilayah yang mencakup 9 Provinsi, 224 Kab dan 36 Kota di Indonesia. Umat (rakyat mutiara), gunakan hak-hak politikmu untuk menentukan pilihan di pesta rakyat nanti, jangan biarkan hak-hak politikmu dikebiri dan digiring pada partai politk yang berkepentingan untuk menggemukkan kantong mereka. Rakyat mutiara, cerdaslah sebagai pemilih dalam menentukan pilihan, rakyat mutiara yang mempunyai lahan negeri yang dapat menentukan di musim hujan maupun di musim kemarau, sudah mempunyai koleksi bibit yang tepat untuk ditanami di musim tersebut, pilihlah bibit unggul yang tepat untuk d...